Rumah

Minggu, 15 Juli 2012

Konsep Berpikir Holistik




Sebenarnya, topik ini merupakan isu lama. Tetapi ia sangat relevan untuk dibahas. Apalagi kalau disadari bahwa tema-tema yang dibahas dalam blog LANGIT BIRU ini sangat luas, menjangkau berbagai masalah.

Bertahun-tahun silam, Dr. Hidayat Nur Wahid (HNW) pernah melontarkan kritik terhadap corak pemikiran ensiklopedik. Maksudnya, seorang pemikir, cendekiawan, atau ilmuwan mengkaji berbagai tema-tema berbeda. Ia tidak fokus atau spesialis di bidang tertentu, tetapi membahas banyak masalah. Pemikiran seperti itu beliau sebut sebagai “ilmu wartawan”, lawan dari ilmu spesialis. Mungkin, Ustadz Hidayat sudah melupakan hal ini, tetapi alhamdulillah ia masih teringat.

Sebenarnya, HNW mengarahkan kritiknya kepada Nurcholis Madjid yang menulis banyak essay dengan topik-topik berbeda, mulai dari masalah pemikiran, teologis, spiritual, sejarah, politik, sosial, teknologi, sampai pernah dia membahas materi genetika. Waktu itu HNW masih satu pemikiran dengan Dr. Daud Rasyid dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran Nurcholis. Tapi seiring perkembangan, HNW cenderung lunak dengan ide-ide Nurcholis Madjid.

Soal sikap anti terhadap pemikiran Nurcholis Madjid, ya kita sepakat. Alhamdulillah, bi ni’matillah. Tetapi menyebut corak pemikiran ensiklopedik (jika boleh disebut demikian) sebagai “ilmu wartawan” adalah suatu kesalahan serius. Meskipun seseorang pro dengan pengembangan ilmu secara spesialisasi, tidak berarti berpikir holistik (meliputi berbagai bidang kajian) itu keliru.

Dari sisi keragaman tema-tema yang dipilih Nurcholish Madjid, hal itu sudah tepat. Hanya substansi pemikirannya yang sekuler, pluralis, dan liberalis (SEPILIS), itulah yang keliru. Bahkan saya mendapati sebuah kesimpulan, bahwa untuk membangun kebangkitan peradaban Islam kembali, kita membutuhkan lebih banyak lagi para pemikir, cendekiawan, atau ilmuwan yang bersifat holistik, bukan melulu terkurung dalam batas-batas kesempitan spesialisasi ilmu.

Disini ada sekian banyak alasan yang bisa dijadikan hujjah untuk mendukung pentingnya corak pemikiran holistik, yaitu sebagai berikut:

PERTAMA: Kalau Anda pelajari Al Qur’an, maka Anda akan mendapati bahwa Kitab Allah ini membahas berbagai macam bidang kehidupan manusia. Disana ada masalah: ibadah, tauhid, sejarah, hukum, muamalah, bahasa, seni sastra, matematika, sains, sosiologi, komunikasi, pendidikan, dan sebagainya. Sangat banyak bidang-bidang kajian itu. Justru aneh, kalau seseorang membaca Al Qur’an tetapi tidak menangkap pelajaran seperti itu.

KEDUA: Kalau Anda membaca dua kitab hadits yang paling utama, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, maka Anda akan mendapati disana sangat banyak bab-bab pembahasan ilmiah. Mulai dari topik ilmu, thaharah, iman, shalat, zakat, shaum, haji, kisah, akhlak, biografi Nabi dan Shahabat, fadhilah amal, sifat syurga, neraka, Hari Kiamat, muamalah, jual-beli, peperangan, dan sebagainya. Sangat banyak dan menjangkau topik-topik yang luas. Pertanyaannya, apakah keluasan jangkauan itu terjadi secara kebetulan, atau karena memang fithrah manusia mendukung ke arah itu? Tidak mungkin, semua itu terjadi secara kebetulan.

KETIGA: Menurut penelitian para neurologis (ahli syarat), otak manusia sejak lahir telah disiapkan untuk memahami berbagai macam bidang ilmu. Secara potensial hal itu sudah disediakan, tetapi secara realitas kerap kali yang berkembang hanya bagian-bagian tertentu saja dari otak manusia. Kalau tidak percaya, coba tanyakan kepada para ahli syaraf itu! Bahkan sampai ada penelitian tentang otak kanan dan otak kiri yang masing-masing bagian mewakili kecenderungan emosional dan kemampuan intelektual tertentu.

KEEMPAT: Kalau Anda mencermati kehidupan manusia secara individu, kehidupan manusia secara sosial (komunitas), kehidupan hewan dan tumbuhan di alam, serta sistem mikroskopis dan makrokosmos yang ada di alam ini, Anda akan mendapati bahwa tidak ada satu pun makhluk yang independen secara mutlak. Semua makhluk itu terikat dalam sistem inter koneksi (saling terhubung). Artinya, hakikat kehidupan kita ini bersifat komplek, tidak tunggal, tidak mandiri secara mutlak. Dengan demikian, memahami kehidupan ini juga membutuhkan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan yang komplek pula. Kalau seseorang hanya berkutat secara fanatik dengan spesialisasinya, dia akan kehilangan banyak kesempatan.

KELIMA: Dalam manajemen modern, banyak pihak telah lama menerapkan sistem pendekatan integral. Misalnya dalam industri perangkat keras komputer. Disana sebuah pabrik komputer tidak hanya merekrut ahli-ahli teknik komputer saja, tetapi mereka juga membutuhkan ahli desain, ahli bahasa, ahli marketing, peneliti sosial, sampai ahli psikologi. Dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh (integral), diharapkan keputusan-keputusan manajemen yang diambil lebih dekat kepada realitas konsumen yang dihadapi.

KEENAM: Sejak lama Islam telah melahirkan ahli-ahli agama multi disipliner. Dalam bidang ini ada Ibnu Jarir At Thabari, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Asqalani, Ibnu Khaldun, Al Ghazali, dan sebagainya rahimahumullah jami’an. Kemampuan ilmiah mereka tidak melulu satu bidang saja, tetapi menjangkau banyak bidang, seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Shirah, Tarikh, Sastra Arab, adat-istiadat Arab, dll. Ibnu Jarir misalnya, beliau pernah ingin mendiktekan kisah manusia sejak jaman Nabi Adam As sampai jamannya. Ketika ditanya, “Berapa halaman yang dibutuhkan?” Kata beliau, “50 ribu halaman.” Maka murid-murid beliau mengeluh, “Kalau begitu, habis umur kami hanya untuk mencatat kisah itu.” Akhirnya Ibnu Jarir meringkas “hanya” 5000 halaman saja. Padahal Ibnu Jarir lebih dikenal sebagai seorang ahli Tafsir.

KETUJUH: Islam juga telah melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan multi disilpiner yang menguasai ilmu agama, filsafat, matematika, sains, seni, sejarah, geografi, dan lain-lain. Ilmuwan seperti Ibnu Rusyd, Al Khawarizmi, Al Kindi, Al Jabar, dll. mereka memahami berbagai cabang ilmu sekaligus. Di antara mereka ada yang menguasai bidang optik, navigasi, astronomi, kedokteran, biologi, arsitektur, dan seterusnya. Luar biasa kenyataan itu!

KEDELAPAN: Pemahaman bidang-bidang ilmiah secara holistik akan membawa kepada kebijaksanaan (al hikmah) dan keputusan yang matang. Justru sikap fanatik kepada spesialisasi dan menolak keragaman perspektif, hal itu akan membawa kepada kesempitan pandangan dan kesimpulan yang mentah. Hal itulah yang menyebabkan Ummat Islam dalam masa berabad-abad terjerumus dalam pertikaian karena egoisme pemikiran yang bersifat sektoral. Fanatisme madzhab berawal dari pemikiran sempit yang tidak mau menengok perspektif lain.

KESEMBILAN: Pada hakikatnya, tidak ada satu pun bidang ilmu yang bersifat spesialis murni. Misalnya, ada seorang doktor yang melakukan penelitian serius tentang akidah Syi’ah. Dia tidak akan sampai kepada suatu hasil karya yang matang jika tidak didukung oleh perangkat-perangkat ilmu lain. Misalnya, dia membutuhkan ilmu bahasa, informasi pustaka, rujukan kamus, ilmu sejarah, ilmu terminologi, perdebatan fiqih, perdebatan akidah, dan sebagainya.

KESEPULUH: Dakwah Islam akan lebih berhasil kalau para dai memiliki wawasan multi disipliner. Dengan wawasan itu dia lebih mampu beradaptasi dengan berbagai macam manusia, lingkungan, dan kasus. Menghadapi orang gunung berbeda dengan menghadapi orang pesisir; menghadapi para eksekutif berbeda dengan kaum manula; bahkan orang gunung di Bromo berbeda dengan di Merapi, Dieng, Tangkuban Perahu, dan lainnya. Seseorang yang fanatik spesialisasi, kemungkinan besar dakwahnya akan gagal. Dia tidak siap menghadapi keragaman.

Demikianlah alasan-alasan yang bisa dikemukakan. Singkat kata, sebutan “ilmu wartawan” bagi pengembangan pemikiran yang bersifat holistik adalah suatu kesalahan besar. Jika sebutan “ilmu wartawan” itu diterima, maka kita akan menuduh Al Qur’an, As Sunnah, para ulama, para pakar Islam, dan lain-lain sebagai “ilmu wartawan”. Dan ini adalah kesalahan besar!

Kondisi Riil di Masyarakat

Kalau mau jujur, banyak tokoh-tokoh Muslim di Indonesia yang tidak bekerja sesuai spesialisasinya. Bidang yang dipelajari A, tetapi mereka bergelut di dunia B, C, atau D. Dalam dunia profesi juga demikian. Misalnya sarjana Pertanian, tetapi bekerja sebagai marketing bank; sarjana lulusan ekonomi menjadi ustadz; sarjana lulusan Syariah menjadi birokrat. Nah, hal-hal seperti itu banyak terjadi, karena memang pemberdayaan SDM di kalangan kita kurang. Saya masih ingat, dulu seorang AS. Hikam, dia sarjana sastra dan doktor di bidang politik, menjadi peneliti LIPI, sekaligus politisi PKB. Di jaman Mbah Dur, AS. Hikam pernah menjadi Menteri Riset dan Teknologi, sekaligus Ketua BPPT. Jelas itu sebuah lompatan yang sangat dramatis. “Tak sedap di mato,” kata orang Padang.

Seorang ikhwan di Depok, pernah mendengar ucapan Walitota Depok, Nurmahmudi Ismail. Katanya, Pak Nur pernah mengakui bahwa menjadi Walikota itu jauh lebih sulit daripada menjadi seorang Menteri (Kehutanan). Nah, ini salah satu ilustrasi bagus. Seorang Menteri Kehutanan hanya membidangi satu masalah saja, sedangkan seorang Walikota menghadapi segala macam masalah rakyatnya. Sejak dari masalah anak diare sampai tender proyek, dari soal pembangunan masjid sampai pembuangan sampah, dari masalah gelandangan sampai kunjungan pejabat dari Pusat. Komplek sekali coverage area-nya. Untuk menjadi seorang kepala daerah, sangat dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan multi disipliner.

Saya pernah mendengar sebuah pandangan. Sebagian orang tidak setuju dengan corak studi spesialis. Lho, kok begitu? Katanya, kalau spesialis cara berpikirnya menjadi sempit. Seorang sarjana agama akan keberatan kalau disuruh membuat proposal bisnis; seperti sarjana teknik mesin akan stress kalau disuruh mengajar anak-anak TK. Masalah-masalah di masyarakat seringkali membutuhkan kemampuan multi disipliner, tidak melulu spesialisasi.

Saya sendiri mendapati banyak contoh di sekitar. Seorang teman sarjana IAIN, tetapi mahir ngoprek motor. Teman yang lain pegawai administrasi, tetapi pintar memasak, sampai membuat cake yang rumit-rumit. Seorang sahabat, kuliah di Hama Penyakit Tanaman (HPT), tetapi sehari-hari bekerja di proyek penelitian sipil dan konstruksi. Saudara sendiri lulusan SMA jurusan Biologi, tetapi bekerja di bidang pengelasan mesin-mesin pembangkit listrik. Dia biasa berurusan dengan tower-tower, pipa besar, baja tebal, tabung-tabung, dsb. Bahkan ada saudara yang semula bekerja di Petrokimia, kemudian menjadi asisten pelatih sepak bola. Ada juga seorang kenalan dulu, dia sarjana Teknik Industri, tetapi terjun berbisnis jualan kerupuk. Sebenarnya, kalau mau disisir lebih teliti, sangat banyak contoh para “pelompat pagar” itu. Sekat-sekat spesialisasi tidak menjadi halangan untuk berkiprah di bidang yang diminatinya. Saya sendiri, sejak kecil tidak pernah sekolah agama, ketika kuliah juga mengambil studi umum, tetapi kemudian menjadi penulis.

Sekedar tambahan, lihatlah kerja besar Dr. Harun Yahya. Dalam usahanya melawan dominasi filsafat materialisme di bidang sains, khususnya berkaitan dengan teori Evolusi Darwin, beliau mengerahkan sekian banyak disiplin ilmu. Kalau melihat studi kesarjanaannya, beliau adalah lulusan Jurusan Seni di Universitas Mimar Sinan Turki. Tetapi dalam menghadapi teori Darwin, beliau mengkaji sains Biologi, Paleontologi, Genetika, Geografi, Sejarah, filsafat, bahasa, dan tentu saja Al Qur’an dan Tafsir. Menurut ibu beliau, Harun Yahya di waktu mudanya sangat gigih. Dia bisa sangat lama membaca berbagai referensi sains, termasuk yang berbahasa Inggris. Dulu Imam Al Ghazali rahimahullah menggunakan pemikiran berbagai macam sekte-sekte akidah untuk membantah filsafat Yunani. Salah satu karya monumental beliau adalah Tahafutul Falasifah (kerancuan ilmu filsafat). Keahlian dan wawasan multi disipliner kerap kali dibutuhkan untuk melahirkan karya besar.

Apakah Spesialisasi Ilmu Tidak Perlu?

Tentu saja, spesialisasi sangat dibutuhkan. Ia adalah bagian dari upaya tadabbur (pendalaman) terhadap materi ilmu sedalam-dalamnya. Hanya saja, kebutuhan terhadap spesialisasi itu jangan didasari oleh sikap arogansi, misalnya karena merasa lebih spesialis dari lainnya. Selain itu, kebutuhan kepada spesialisasi juga jangan mematikan konsep berpikir holistik yang diajarkan oleh Al Qur’an, As Sunnah, dan sesuai bakat sistem syaraf manusia itu sendiri.

Kalau mau jujur, spesialisasi adalah kebutuhan wajar manusia. Setiap kita menghadapi masalah-masalah yang bersifat praktis, pasti membutuhkan spesialisasi. Misalnya seorang profesor yang ahli di bidang pemikiran, filsafat, sejarah, dan Sosiologi. Saat dia menghadapi masalah komputer rusak, mesin mobil macet, talang bocor, pompa air ngadat, listrik konslet, pakaian robek, dan sebagainya. Saat itu dia pasti butuh spesialis yang bisa membantunya bekerja secara teknis. Tidak mungkin rasanya, untuk menghadapi semua itu kita hanya bermodal teori-teori yang bersifat global. Jadi, spesialisasi itu kebutuhan riil manusia, khususnya ketika berhadapan dengan masalah-masalah praktis.

Sebuah qudwah mulia dari Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam. Beliau ini Nabinya orang-orang beriman yang dikarunia kemampuan multi disipliner. Beliau adalah seorang Nabi, Rasul, imam Shalat, Mufti, rujukan konseling, pelayan Ummat, pemimpin negara, diplomat, ahli strategi, panglima perang, seorang suami, ayah, mertua, sahabat, tetangga, dan sebagainya. Tetapi saat beliau mendapati masalah-masalah praktis, seperti memasak roti, menjahit baju, memperbaiki sandal, dan sebagainya, beliau bertindak sebagai seorang spesialis.

Bagaimana Posisi “Ilmu Wartawan”?

Sebagian wartawan ada yang sekedar menyampaikan apapun informasi menarik yang mereka temukan. Tetapi wartawan-wartawan senior tertentu memiliki wawasan pengetahuan yang tinggi. Mereka selain berwawasan luas, juga mampu mengaitkan satu persoalan dengan persoalan lain. Selain itu, mereka memiliki kepedulian terhadap catatan sejarah dari waktu ke waktu. Itu kalau benar-benar wartawan yang mumpuni, jurnalis sejati yang mengabdi di lapangan pendidikan publik melalui informasi-informasi dan opini sosial. Wartawan seperti ini di Indonesia tergolong langka, misalnya Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis.

Secara Syar’i, posisi ilmu jurnalistik untuk membangun opini positif tentang Islam dan kaum Muslimin sangatlah tinggi. Ia tidak sesederhana yang dibayangkan. Posisi ilmu seperti itu setara dengan posisi Asbabun Nuzul dalam ilmu-ilmu Al Qur’an. Hal ini membutuhkan kajian yang mendalam yang terlalu panjang jika disatukan disini. Mudah-mudahan suatu nanti ia bisa dibahas. Amin.

Ilmu jurnalistik jika hanya digunakan untuk tujuan komersial, bisnis, atau industri, nilainya tidak seberapa. Tetapi jika ia tulus digunakan untuk membangun masyarakat yang beriman dan bertakwa, maka ia merupakan Jihad agung yang dibutuhkan setiap peradaban Islam. Hal itulah yang selama ini diemban oleh jurnalis-jurnalis Islam yang mukhlis. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Upaya Membangun Pemikiran Holistik

Mungkin tema ini terlalu panjang kalau dibahas disini, ia bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Soekarno dulu pernah bertutur tentang kisah romantisnya dengan Ibu Hartini. Kata Soekarno, kalau kisah romantis itu diceritakan, mungkin bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Tentu, saya tidak bermaksud menduplikasi cara berkelit ala Soekarno. Kalau ada, ya sedikit. (He he he…bisa aja membela diri).

Berikut ini saran-saran untuk membangun metode berpikir holistik:

(1) Dalam upaya ini sebenarnya tidak ada teori khusus, sebab berpikir holistik itu sudah sesuai fithrah manusia. Al Qur’an dan As Sunnah telah di-setting sesuai fithrah manusia. Hal ini merupakan salah satu potensi yang memudahkan setiap Muslim untuk berpikir terbuka dan luas. Alhamdulillah.

(2) Anda harus memahami bahwa kehidupan ini sangat komplek, tidak satu warna, tidak satu bentuk, tidak satu corak. Seperti Anda lihat lingkungan di sekitar Anda, disana ada meja, kursi, lemari, piring, gelas, buku, kertas, pensil, boneka, mainan anak, lampu, tikar, pakaian, sepatu, radio, TV, komputer, kucing, semut, cicak, tanaman, rumput, dan sebagainya. Situasinya komplek! Nah, begitu pula dengan dunia ilmu. Khazanah ilmu sangat luas. Hingga Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Setiap bertambah ilmuku, semakin tahu aku akan kejahilanku.” Dalam Surat Al Kahfi ayat 109 disebutkan, ilmu Allah itu sangat luas. Andai lautan menjadi tinta dan pohon-pohon menjadi pena, lalu ditambahkan sejumlah itu lagi, ia tidak akan bisa menuliskan semua kalimat-kalimat Allah. Konsekuensinya, kalau Anda hanya berpikir dari satu arah saja, enggan melihat arah-arah yang lain, maka sangat banyak kenyataan hidup yang terlewat dari hadapan Anda.

(3) Ketika berhadapan dengan keragaman ilmu-ilmu, Anda jangan merasa minder atau merasa cepat letih untuk memahami semua itu. Kalau Allah hadapkan Anda pada suatu persoalan, berarti Anda telah dipercaya untuk memahami persoalan itu. Bukan hanya ilmu yang terhampar dalam buku-buku, atau di majlis-majlis ilmu, bahkan setiap retakan dinding, gerakan kaki semut, garis-garis kayu, semilir angin, sampai butiran-butiran kerikil yang terinjak kaki, semua itu bisa menjadi sumber pengetahuan. Andai Anda memiliki kesempatan untuk merenungi, lakukanlah. Nikmati, nikmati, dengan niatan menyelami ayat-ayat Allah Ta’ala (ayat kauniyyah). Mungkin waktu itu informasi tersebut belum terlihat manfaatnya, tetapi suatu saat nanti Anda akan mensyukurinya. Bukalah pintu-pintu pikiran Anda untuk merekam ilmu-ilmu kauniyyah seluas-luasnya. Hal ini sungguh sangat bermanfaat, bila telah tiba momentumnya. Alhamdulillah.

(4) Cobalah lebih menghargai ilmu pengetahuan, baik berupa tulisan, perkataan, atau gambar. Seperti disebutkan dalam Al Qur’an, kalau kita bersyukur, maka Allah akan menambahkan nikmat-Nya. (Surat Ibrahim, 7). Kalau ada orang berbicara, seandainya isinya penting, jangan segan untuk mendengar, meskipun dari orang yang diremehkan sekalipun. Kalau ada tulisan yang bermanfaat, jangan segan untuk membaca, hingga dari kertas-kertas pengumuman yang ditempel. Kadang kita mendapatkan informasi-informasi berharga dari potongan-potongan kertas yang terabaikan.

(5) Alangkah baik kalau setiap kita memiliki buku catatan kecil (semacam agenda) untuk mencatat informasi-informasi penting yang diperoleh, baik yang dicari secara sengaja atau tidak. Ali bin Abi Thalib Ra. mengatakan, “Ikatlah ilmu itu dengan mencatatnya!” Nasehat beliau ini sangat penting sekali. Para ilmuwan rata-rata memiliki catatan pribadi untuk mencatat apapun yang menurut mereka penting. Meskipun saat ini era digital, tidak berarti tulisan manual (manuskrip) itu menjadi tidak berguna. Tidak, ia tetap sangat berguna. Apalagi dalam Surat Al Alaq disebutkan, “‘Allamal insana bil qalam” [(Allah) mengajarkan ilmu kepada manusia dengan pena].” Sampai Hari Kiamat, pena ini tetap dibutuhkan.

(6) Ketika berhadapan dengan lautan ilmu pengetahuan, ada dua pendekatan yang bisa Anda tempuh: Pertama, mengumpulkan manfaat; Kedua, menjadi seorang ilmuwan Muslim. Kalau Anda hanya ingin mengumpulkan manfaat informasi, maka kumpulkan saja informasi yang baik-baik dan bermanfaat, lalu abaikan segala macam informasi yang buruk, tercela, atau tidak penting. Kalau Anda merasa suatu sumber ilmu tidak berguna atau merugikan, segeralah berpaling sejauh-jauhnya. Baik juga kalau Anda berdoa, “Rabbi zidni ilman nafi’an” (wahai Rabb-ku tambahkan kepadaku ilmu yang bermanfaat). Tetapi kalau Anda mau jadi seorang ilmuwan Muslim, harus berani berhadapan dengan konflik pemikiran, konfrontasi ideologi, sampai ikhtilaf yang rumit-rumit. Pilihan kedua itu lebih berat, tetapi derajatnya di sisi Allah tentu lebih mulia. Dalam hadits Tirmidzi disebutkan, “Inna ‘izhamil jaza’i ma’a ‘izhamil bala’” (sesungguhnya besarnya balasan itu setara dengan besarnya ujian). Syaikh Al Albani rahimahullah pernah mengatakan, bahwa di masa mudanya beliau rajin membaca, baik bacaan yang halal maupun haram. (Tentu maksudnya, bukan menyuruh Anda membaca bacaan-bacaan haram, tetapi dalam proses kehidupan seorang ‘alim, konflik pemikiran itu sering terjadi).

(7) Hindari sikap fanatik kepada siapapun, selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Setiap perkataan bisa diambil atau ditolak, selain perkataan penghuni pusara ini.” Kata beliau sambil menunjuk ke makam Nabi Saw di dekat Masjid Nabawi. Ukuran kebenaran ialah timbangan Kitabullah dan Sunnah, bukan fanatisme. Kalau ada orang yang bermaksud mendoktrin agar Anda menjadi manusia fanatik, katakan kepadanya, “Saya tidak mengibadahi Fulan atau Fulan, tetapi mengibadahi Allah Al Wahid.” Fanatik kepada madrasah, kitab, tokoh, atau apapun tidak dibernarkan. Kita boleh memilih salah satu ijtihad ulama’, dengan pertimbangan hal itu yang paling mampu kita lakukan. Meskipun begitu, kita tidak boleh meyakini ijtihad itu sebagai satu-satunya kebenaran, lalu menutup pintu bagi datangnya kebenaran dari arah lain. Bukankah sudah masyhur perkataan Imam Syafi’i, “Jika suatu hadits telah dinyatakan shahih, maka dialah madzhabku.”

(8) Dalam membangun pemikiran ini, kita harus bertumpu kepada keimanan kepada Al Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kitabullah dan Sunnah inilah yang akan memberikan kerangka kepada kita untuk menyelami lautan ilmu-ilmu Allah Ta’ala. Tanpa keimanan kepada Kitabullah dan As Sunnah, biarpun Anda hafal isi Encyclopedia Britannica yang puluhan jilid itu, sampai titik-komanya, hal itu tidak ada artinya. Untuk apa Anda mengumpulkan informasi sedemikian banyak, jika ia tidak berguna untuk menuntun hati Anda bersyukur kepada Allah? Kitabullah dan Sunnah akan menjadi kerangka, agar ujung dari semua kiprah ilmiah ini menjadi: Tasyakur billah! Dalam Al Qur’an, “Dan Dialah (Allah) yang telah menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikit dari kalian yang bersyukur.” (Al Mu’minuun: 78).

(9) Untuk mendalami sesuatu, kita harus memiliki fondasi jiwa yang kokoh. Jika jiwa kita kokoh, mau menggeluti bidang apapun, insya Allah akan paripurna (dalam ukuran manusia). Untuk itu kita butuh tarbiyah ruhiyah. Seperti saran para Wali Songo: membaca Al Qur’an dengan memahami maknanya, shalat malam dijalankan, berkumpul dengan orang Shalih, puasa Sunnah di siang hari, serta tekun berdzikir di malam hari. Saya tambahkan lagi: Berdoa kepada Allah, bertaubat kepada-Nya, senang membantu sesama Muslim, dan sebagainya. Dengan cara demikian, Anda akan dianugerahi kekuatan jiwa. Insya Allah.

(10) Selanjutnya, kita perlu mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh. Mungkin sulit mengamalkan seluruh ilmu itu, tetapi semoga Allah memberi kita taufik untuk mengamalkan sebagiannya dan Dia memaafkan kita atas ilmu-ilmu yang belum diamalkan dengan baik. Allahumma amin. Dan tentu saja, ilmu-ilmu itu juga perlu dibagi kepada Ummat Islam, dengan tanpa pamrih, dengan komitmen menyampaikan kebenaran, dan tidak takut selain hanya kepada-Nya. Jangan pelit untuk berbagi kebaikan. Contohlah Dr. Harun Yahya, semoga Allah selalu menjaganya, dia tidak segan membagikan ilmunya secara free charge ke seluruh dunia (tidak memungut royalti). Begitu pula situs Al Meshkat, mereka berletih-letih membangun Al Maktabah As Syamilah yang luar biasa itu, lalu membagikannya gratis ke seluruh dunia. Banyak para ulama di Timur Tengah yang membiarkan buku-bukunya tersebar meluas, tanpa pelit mempertanyakan hak royaltinya. Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Aku berharap seandainya ilmuku tersebar seperti angin, dan orang tidak perlu tahu dari mana ia berasal.” Contohlah manusia-manusia budiman ini, jangan menjadi manusia koret dalam ilmu, sehingga Allah pun enggan membukakan keluasan khazanah ilmu-Nya. Jadilah hamba yang mulia dengan melayani ilmu dan kebenaran di jalan Allah Ta’ala.

(11) Bagaimanapun tubuh kita membutuhkan istirahat dan syaraf-syaraf kita membutuhkan pereda ketegangan (refreshing). Ibarat mesin yang terus dipacu, tanpa kenal henti, ia akan cepat rusak. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik, sehingga butuh istirahat di sela-sela kepenatan dan segala keletihan. Hiburan yang cerdas dan sehat sangat membantu melemaskan ketegangan. Sebuah nasehat berharga yang pernah disampaikan seseorang, “Tubuhmu ini satu-satunya yang kau miliki, maka jagalah ia sebaik-baiknya.” Boleh kita beristirahat, berhibur, atau menikmati jamuan rizki Allah. Semua itu halal, selama tidak berlebih-lebihan. Dalam Al Qur’an, “Dan makanlah kalian dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al A’raaf: 31). Kalau mau jujur, sumber-sumber hiburan itu sangat banyak. Hingga senyuman anak kita, tawa lepas mereka, atau kepolosan kata-katanya, ia bisa menjadi hiburan yang menggembirakan hati. Alhamdulillah. Bahkan obrolan ringan di jalan, di atas kendaraan, di depan warung, di tempat wudhu, dan sebagainya, hal itu juga bisa menjadi sumber hiburan. Tidak berlebihan jika Nabi mengajarkan agar kita murah senyum kepada sesama Muslim, menebar salam, berkata-kata yang baik, menyambung shilaturahim, dan sebagainya. Semua itu tanpa disadari adalah pereda berbagai ketegangan yang menyelimuti diri.

Selanjutnya, saat kita berbicara tentang pendidikan generasi, ajarkanlah konsep berpikir holistik kepada anak-anak. Jangan membatasi kebebasan mereka untuk merambah pengetahuan seluas mungkin, selama ia baik, terpuji, dan bermanfaat. Yakinlah, fithrah mereka telah disiapkan untuk itu. Bahkan berpikir holistik akan memudahkan mereka memahami Kitabullah dan Sunnah. Adapun spesialisasi tetap diperlukan, sebab bagaimanapun kita akan menghadapi masalah-masalah teknis yang dicapai dengan spesialisasi. Konsep berpikirnya holistik, tetapi masing-masing tetap memiliki spesialisasi di bidang-bidang tertentu. Seperti yang saya alami, ketika berbicara soal media, penerbitan, atau bisnis tetap berpikir spesialis.

Demikian yang bisa disampaikan. Semoga hal ini bermanfaat bagi Anda, saya, keluarga kami, kita semua, dan kaum Muslimin. Allahumma amin. Saran, kritik, masukan, insya Allah akan diterima dengan lapang hati. Boleh melalui e-mail, boleh juga lewat komentar di blog ini. Bila Allah ijinkan, mungkin kita bisa bertemu muka suatu saat nanti. Mohon doanya selalu, agar Allah memudahkan upaya ini. Tidak ada yang bisa diandalkan pertolongan dan perlindungannya, selain Allah Ta’ala. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Wallahu a’lam bisshawab.

Ardhillah, 5 November 2008.